04/01/2009

‘ETOS KERJA’ - SYARAT MUTLAK HIDUP BERKUALITAS

Albert Einstein, bapak bom atom, penemu ‘teori relativitas’, yang merumuskan bahwa Energi adalah berbanding lurus dengan Massa dikalikan kuadrat dari suatu konstanta yang relative sangat besar yaitu kecepatan cahaya, C = 300.000.000 meter/detik; Ketika ditanya rahasia dari kesuksesannya mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa jika kesuksesan itu dianalogikan sebagai sebuah besaran sejumlah 100% maka ketrampilan, kepintaran dan atau kecerdasan, yang sering disamakan dengan kejeniusan itu hanya menjadi penyumbang minoritas. Nilainya tidak lebih cuma 1% saja. Sedangkan penyumbang terbesar dari kesuksesannya, yang berjumlah tidak kurang dari 99% adalah ‘Kerja Keras’ dan ‘Usaha’ nya yang tak kenal lelah.

Berangkat dari pernyataan Albert Einstein di atas dan mengamati cerita sukses negara-negara maju tetangga kita di Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Dimana masyarakat dari negara-negara tersebut tak pernah tinggal diam, rajin bergerak dan senantiasa tekun dan konsisten dalam tugas keseharian mereka. Sehingga nampak jelas ada benang merah yang menghubungkan antara kesuksesan atau kemajuan suatu bangsa dengan semangat dan kerja keras ( Etos Kerja ) dari masyarakatnya.

Sampai disini penulis teringat dengan pengamatan penulis terhadap kondisi lingkungan kerja yang sehari-hari kita jalani. Yang masih terasa jauh panggang dari api. Begitu banyak orang yang tanpa merasa bersalah bermain game, membaca koran, majalah dan bahkan komik diwaktu kerja produktifnya. Mengobrol kesana-sini seolah-olah tempatnya bekerja adalah ‘club-rumpi’.

Buku K.H Toto Tasmara tentang ‘Membudayakan Etos Kerja islami’ yang pernah penulis baca, menggelitik penulis untuk mencoba menyampaikan apa yang diuraikan dengan sangat menarik oleh beliau tentang ‘Etos kerja’ diulas dari sisi budaya dan keyakinan yang dipercaya dan dianut oleh bagian terbesar dari masyarakat kita.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN ETOS?

Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang terkait dengan baik-buruk (moral), sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang sangat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Dalam etos tersebut, ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu dan menghindari segala kerusakan sehingga setiap pekerjaannya diarahkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari hasil pekerjaannya (no single deffect). Sikap seperti ini dikenal dengan ihsan, sebagaimana Allah menciptakan manusia dalam bentuknya yang paling sempurna (fi ahsani taqwim). Senada dengan kata ihsan, ditemukan pula kata itqan yang berarti proses pekerjaan yang sangat bersungguh-sungguh, akurat dan sempurna (an-Naml:88). Akibatnya seorang yang berbudaya islami pastilah akan menunjukkan etos kerja yang bersikap dan berbuat serta menghasilkan segala sesuatu secara sangat bersungguh-sungguh dan tidak pernah mengerjakan sesuatu setengah hati (mediocre). Dengan etos kerja yang bersumber dari ‘keyakinan’ akan ada semacam keterpanggilan yang sangat kuat dari lubuk hatinya, ‘Aku ini seorang muslim, apakah pantas bekerja setengah-setengah? Apakah pantas menunjukkan hasil kerja yang tidak berkualitas? Bila Allah telah berbuat ihsan, mengapa aku tidak mengikutinya dengan berbuat ihsan juga? Sebagaimana firman-Nya,’... dan berbuat baiklah (ihsan) sebagaimana Allah telah berbuat baik (ihsan) kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan’. (al-Qashash:77).
Karena etos terkait dengan nilai kejiwaan, hendaknya kita harus mengisinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang positif dan selalu rindu untuk menunjukkannya dalam bentuk hasil kerja serta sikap dan perilaku yang menuju atau mengarah kepada hasil yang sempurna. Akibatnya, cara kita mengekspresikan sesuatu selalu berdasarkan semangat untuk menuju kepada perbaikan (improvement) dan terus berupaya dengan sangat bersungguh-sungguh menghindari yang negatif (fasad).

Etos yang juga mempunyai makna nilai moral adalah suatu pandangan batin yang bersifat mendarah-daging. Dia merasakan bahwa hanya dengan menghasilkan pekerjaan yang terbaik, bahkan sempurna, ‘nilai-nilai’ yang diyakininya dapat diwujudkan. Karenanya etos bukan sekedar kepribadian atau sikap, melainkan lebih mendalam lagi, dia adalah martabat, harga diri dan jati diri seseorang!

Etos menunjukkan juga sikap dan harapan seseorang. Seorang ulama besar islam, imam al Qusairi mengartikan harapan sebagai keterpautan hati kepada yang diinginkannya terjadi dimasa yang akan datang. Perbedaan antara harapan dan angan-angan (tamanni) adalah bahwasanya angan-angan membuat seseorang menjadi pemalas dan terbuai oleh khayalannya tanpa mau mewujudkan nya. Didalam harapan tersimpan kekuatan dahsyat yang terus bercahaya sehingga menyedot seluruh perhatiannya. Mereka terobsesi, terpikat dan terus berjalan untuk memenuhi harapannya tersebut. Mereka yang ingin mewujudkan harapan atau cita-citanya itu memiliki sikap ketabahan yang sangat kuat. Tidak gampang menyerah atau berganti haluan dari arah yang telah diyakininya, sesuai dengan apa yang dikatakan Qur’an : “Dan, janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali . . . “. (an-Nahl:92).

Kita menyaksikan begitu banyak orang yang berhasil dan mampu mengubah wajah dunia, mereka adalah orang-orang yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mewujudkan pengetahuan dan harapannya tersebut melalui semangat kerja yang tak kenal kata mundur atau menyerah. Hidupnya menjadi bermakna karena ada harapan. Pantaslah Allah swt menyeru kita untuk tetap memiliki harapan dan menggolongkan mereka yang berputus asa ke dalam golongan orang-orang yang sesat, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya kecuali orang yang sesat” (al-Hijr:56).

Untuk meraih harapannya, Ia kerahkan segala kekuatan dan potensi yang ada pada dirinya. Ia nyalakan semangat yang mengilhami seluruh gerak kehidupannya. Seakan-akan ada nyala api yang terus memantulkan cahaya memenuhi pikiran, hati dan tindakannya. Semangat ini mendorong perilaku yang tak kenal kata menyerah. Mereka yang pernah mengukir sejarah dunia adalah mereka yang tak kenal kata mundur. Bila kamus kehidupannya dibuka niscaya kamus mereka tidak lengkap karena ada satu kata yang hilang, yaitu kata ‘mundur’. Kenanglah semangat Rasulullah ketika beliau ditawari harta, tahta dan jabatan agar berhenti menegakkan kebenaran. Beliau menolak segala tawaran tersebut dan tetap teguh pada pendiriannya seraya berkata, ‘Walaupun matahari ditangan kananku, rembulan ditangan kiriku, tidak pernah ada kata mundur atau berhenti dari misi suci ini . . . “.

Harapan (HOPE), yang akan lebih mudah diingat dengan mengekspresikannya sebagai HOnorable Person, menjadikannya selalu mengasah mata pikirannya (head), melatih ketabahan dan ketajaman intuisinya (heart) dan membuktikannya dengan ketrampilan (hand). Menyadarkannya bahwa untuk mewujudkan impiannya itu dia harus berkualitas sehingga mampu bersaing. Hidup adalah sebuah persaingan (fastabiqul khairat). Itulah sebabnya untuk menjadi berkualitas, dia tak kenal berhenti untuk terus belajar, belajar dan belajar. Sadar bahwa tiga potensi dirinya, yaitu : Head, Heart dan Hand hanyalah sebuah khayalan jika tidak ditambah dengan satu sikap yang mutlak diperlukan, yaitu : hard working!

Harapan (hope) hanya bisa diraih bila memenuhi kualitas kepribadian yang secara metaforis dapat digambarkan dalam rumus sebagai berikut:

Quality of your (Head+Heart+Hand) + Hard Working = Hope

Kualitas bukan sekedar hasil, melainkan sebuah proses dari keterpanggilan hati. Kualitas adalah gambaran yang menjadi obsesi bagi setiap pribadi yang memiliki etos kerja. Kualitas adalah proses yang secara konsekuen menapaki jalan yang lurus. Dalam dunia usaha atau lapangan pekerjaan jalan yang lurus tidak lain adalah seluruh komitmen yang dijabarkan dalam ‘standard of procedure’ yang mencakup seluruh komitmen diri terhadap perusahaan. Setiap karyawan yang memiliki etos kerja tidak akan mengabaikan begitu saja seluruh proses yang ada karena setiap kalimat dari prosedur merupakan hasil dari buah pemikiran dan kesepakatan. Ia akan yakin bilamana prosesnya berkualitas niscaya akan berakhir dengan hasil yang berkualitas pula. Salah satu kata kunci dari kualitas perusahaan adalah terletak pada kualitas yang dimiliki oleh setiap individu dari perusahaan tersebut.

Kualitas berpikir (quality of your head) berarti kemampuan untuk mengorganisir seluruh unsur yang ada dilingkungan kita dengan mendaya- gunakan informasi yang tersedia. Kemampuan untuk menggambarkan sesuatu dalam bentuk yang abstrak, konseptual, yang kemudian memberikan kemampuan diri untuk mengambil keputusan, memecahkan persoalan-persoalan bahkan berpikir secara kreatif dan inovatif.
Berpikir berarti mengumpulkan informasi, mengolah dan kemudian mereproduksikannya dalam bentuk yang sesuai dengan yang diinginkannya. Bertambah banyak informasi berkualitas yang diperoleh, akan bertambah baik pula kemampuan dalam mengambil keputusan dan memecahkan persolan. Sehingga proses berpikir sangat erat kaitannya dengan pengalaman yang pernah dimiliki, yang berhubungan dengan berbagai informasi dan masalah.

Dua anak kembar sekalipun belum tentu memiliki kemampuan berpikir yang sama, tergantung pada sejauh mana masing-masing anak tersebut memperkaya pengalaman batinnya masing-masing. Itulah sebabnya dalam dunia manajemen sumber daya manusia, peranan pendidikan dan pelatihan yang terus menerus merupakan cara perusahaan untuk menanamkan investasi SDM (human investment) yang suatu saat akan memperkuat kualitas perusahaan tersebut. Pelatihan yang terkait dengan sikap tidak akan terasa kapan perubahannya, tetapi perubahan tersebut pasti ada. Sejalan dengan jawaban atas pertanyaan,’Sejak kapan, jam berapa dan tanggal berapa kita bisa berbicara dalam bahasa kita sendiri?’. Pada dasarnya pelatihan dapat dibagi menjadi dua, yang pertama pelatihan yang terkait dengan ketrampilan dan pengetahuan (skill and knowledge) dan yang kedua terkait dengan sikap perilaku (attitude). Yang pertama merupakan kebutuhan pelatihan dalam bidang teknis yang secara umum sangat mudah diukur dan dilihat parameternya. Misalnya kemampuan seorang karyawan yang awalnya belum mengetahui software komputer. Setelah dilatih dalam bebarapa hari akan terlihat secara signifikan hasilnya. Yang kedua terkait dengan motivasi dan perubahan sikap. Hal ini tidak dapat secara spontan terlihat hasilnya. Ini membutuhkan waktu dan dukungan lingkungan atau organisasi dimana karyawan tersebut berada. Seorang karyawan yang telah mengikuti Super Achievement Motivation Training, akan sangat termotivasi dan ingin berbuat banyak. Tetapi akan tidak dapat berbuat banyak apabila sistem yang ada didalam perusahaan bahkan pemimpinnya belum memiliki paradigma yang sama.

Kualitas hati (quality of heart) berkaitan dengan kualitas moral seseorang atau dikenal dengan istilah Spiritual Intelligent, yaitu tanggungjawab atas dasar cinta kepada Illahi. Kualitas moral akan lebih menggetarkan hati bila dimulai dari prinsip-prinsip dasar atau keyakinan seseorang. Itulah sebabnya, kebutuhan yang paling mendasar bagi seorang karyawan saat ini bukan hanya terkait dengan ketrampilan dan pengetahuan (quality of your hand and quality of your head), tetapi juga ketajaman nilai-nilai moral. Adapun pelatihan-pelatihan yang diasah berdasarkan nilai-nilai religius terasa sangat sedikit dan pada umumnya perusahaan-perusahaan banyak memilih pelatihan moral yang bersifat umum pula. Padahal banyak peserta yang setelah mengikuti Spiritual Management Training dan Etos Kerja merasakan adanya pencerahan batin, dan mengakui telah menghentikan kebiasaan-kebiasaan jeleknya termasuk datang ke kantor menjadi lebih tepat waktu dibanding sebelumnya.

Dengan demikian etos kerja berkaitan erat dengan harapan serta cara dirinya memberikan makna terhadap pekerjaan itu sendiri.

Apabila kita melihat dua orang sedang menggali tanah dan kita tanyakan, “Sedang apa kalian?” Mungkin saja si A menjawab, “Saya sedang menggali tanah. Lihat cangkul dan tanah galiannya,” sedang si B menjawab,”Ah...saya sedang membuat pondasi untuk membangun menara telekomunikasi!”

Apa yang bisa kita simak dari kedua jawaban ini? Si B memiliki etos kerja karena ia memberikan makna lebih dari sekedar menggali, yaitu sebuah proses untuk berdirinya sebuah menara telekomunikasi. Si B mempunyai tujuan, si B mempunyai harapan!

Si A berpikiran dangkal, berwawasan mikro, apa adanya, sedang si B berpikir makro bagaimana seharusnya. Si A menunjukkan nilai aktual, sedang si B menjawab yang esensial bahwa tanpa pondasi, dimanakah menara telekomunikasi akan berdiri, dan seakan-akan ia bangga karena pekerjaannya ini mempunyai makna.

Si A hanya berpikiran pada tingkatan What dan How yang bersifat teknis, sedang si B bertumpu pada wacana berpikir Why dan What if (concept).

Dengan demikian yang dimaksud etos kerja adalah totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresi- kan, memandang, meyakini dan memberikan makna bahwa ada sesuatu yang mendorong untuk bertindak dan meraih amalan yang optimal (high performance).

Akhir tahun delapan puluhan ketika penulis pertama kali bekerja pada sebuah proyek konstruksi perbaikan kapal, penulis berjumpa dengan seorang sopir antar jemput karyawan kantor penulis yang telah berusia lebih dari separuh abad. Raut wajahnya jernih dan sangat bergembira. Selalu cerah dan sering bersenandung. Pada suatu kesempatan saat makan siang berdua bersamanya, penulis bertanya, “Mohon maaf, Pak. Diumur seperti ini, saya lihat bapak masih gagah dan bergembira. Apa tidak ada niat untuk beristirahat atau berganti profesi lain? Beliau menjawab,”Dik, banyak sopir berusia muda yang berangkat dari rumahnya dengan bersungut-sungut karena mereka menjadikan pekerjaannya sebagai beban. Mereka melihat waktu kerja sopir dari dini hari hingga lewat isya itu sangat lama. Makanya banyak diantara mereka yang tidak mampu bertahan”. “Lantas, bapak sendiri bagaimana?” Lanjut penulis dengan penuh perhatian. “Itulah tadi. Bapak agak berbeda dengan mereka. Bapak melihat pekerjaan ini sebagai hobby. Waktu yang habis dari pagi hingga malam bapak nikmati sebagai pelesiran, jalan-jalan. Dan, yang penting dik! Selama duapuluhlima tahun bapak menjadi sopir, bapak tidak mau macam-macam, apalagi menyimpang atau melanggar peraturan. Dari pekerjaan sopir ini bapak bisa membiayai anak-anak hingga menjadi sarjana”.

Dari dialog tersebut, penulis merasa seperti tersengat listrik. Seseorang bisa bertahan dan berprestasi dalam pekerjaannya bila mereka memandang pekerjaan tersebut bukan sebagai beban, tetapi keterpanggilan, sebuah hobby yang menyebabkan tidak terasa ada beban

Tampaklah bahwa dalam etos kerja ada semacam kandungan ‘spirit’ atau semangat yang menggelegak untuk mengubah sesuatu menjadi lebih bermakna.
Lebih jauh, bagi seseorang yang memiliki etos kerja, tidaklah mungkin membiarkan dirinya untuk menyimpang atau membiarkan penyimpangan yang akan membinasakan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa diantara kamu melihat terjadinya kemungkaran, hendaknya kamu cegah dengan tangan; apabila tidak sanggup dengan tangan hendaklah dengan lidah; dan apabila tidak sanggup dengan lidah cegahlah dengan hati; tetapi yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR Muslim).

Kemungkaran merupakan musuh terbesar umat manusia karena yang dimaksud dengan kemungkaran adalah seluruh perilaku lahir maupun batin yang menyimpang dari hukum. Karenanya, sekecil apapun bentuk kemungkaran diubah dengan sekuat tenaga. Seorang karyawan yang memiliki etos kerja, tidak mungkin dengan sengaja atau mencari-cari alasan, berbohong untuk datang terlambat karena hal tersebut merupakan bentuk kemungkaran yang sangat besar. Bukankah berbohong dan ingkar janji merupakan tanda kemunafikan? Kemungkaran adalah setiap penyimpangan (deviation) dari jalan yang telah ditetapkan sebagai kebenaran (ash-shirathal mustaqiim). Islam acapkali juga diidentikkan dengan jalan, dikenal beberapa nama yang hampir bersamaan artinya didalam Al-Qur’an, antara lain : shirath, minhaj, sabil, thariq. Hal ini memberikan pemahaman bahwa seorang muslim akan terus menapaki jalan lurus secara konsisten, sebagaimana jalan kebenaran yang telah ditetapkan dan disampaikan oleh para nabi dan rasul-Nya,”Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kepada jalan lurus” (al-mukminun:73). Dalam konteks ini, salah satu jaminan Allah terhadap persatuan atau sinergi dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam lingkup manajemen perusahaan adalah bahwa semuanya harus didasarkan pada semangat untuk fokus terhadap jalan yang telah disepakati bersama. Pengingkaran terhadap komitmen untuk menjunjung tinggi jalan kebenaran atau menyimpang dari konsensus tersebut akan menyebabkan kelemahan,”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” (al-An’am:153).

Etos kerja adalah semangat untuk menapaki jalan yang lurus. Dalam hal mengambil keputusanpun, para pemimpin pemegang amanah harus berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut.

Terdapat 45 kali pengulangan kata shirath di dalam Al-Qur’an dan kata tersebut menunjukkan arti tunggal (singular). Dengan demikian, pengertian shirath pasti berkaitan dengan kebenaran yang sangat asasi dan tunggal, yaitu kebenaran dari Allah (al-haqqu-mir-rabbika). Jalan yang tidak perlu diragukan lagi pasti mengarah atau menuju kebahagiaan.

Kata sabil atau subul (jamak/plural berarti banyak jalan) lebih memberikan nuansa pada cara atau metode (washilah) untuk meningkatkan atau menyempurnakan kualitas dalam menapaki jalan yang lurus tersebut (shirathal mustaqiim). Sabil merujuk pada kompetensi diri, yaitu kemampuan untuk mencari atau memakai metode. Karenanya sabil dapat saja berada dalam kebaikan atau keburukan. Karena sabil diartikan sebagai metode, kita harus berhati-hati didalam menapaki sabil atau subul agar tidak menyimpang dari jalan (shirath) Allah. Untuk itu, dalam mencari atau menapaki jalan yang benar maupun dalam memakai metode untuk tetap menapaki jalan yang benar tersebut, dibutuhkan adanya kesungguhan, “Barangsiapa yang sangat bersungguh-sungguh (berjihad) di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami...” (al-Ankabuut:69).

Shirath adalah sesuatu yang pasti, sedangkan sabil masih harus diuji apakah di jalan Allah atau di jalan kesesatan. Itulah sebabnya ada satu kata di dalam Al Qur’an yang mengajak kita untuk terus bertanya dalam hal metode pencarian kebenaran tersebut (salsabila).

Dunia, kerja, ikhtiar
Allah
Kemungkaran=Penyimpangan (deviation).


Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa setiap pribadi yang memiliki etos kerja tidak boleh berhenti untuk terus berjalan menuju satu arah. Penyimpangan sekecil apapun akan membawa konsekuensi yang sangat berat apabila tidak segera dikembalikan kepada jalan yang lurus tersebut. Bayangkan jika penyimpangan tersebut bertambah lebar, secara matematis untuk mengembalikannya membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih besar pula.

Etos bukan sekedar bekerja, melainkan kepribadian yang bermuatan moral dan menjadikan landasan moralnya tersebut sebagai cara dirinya mengisi dan menggapai makna hidup yang diridhai-Nya, menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sehingga etos kerja berkaitan dan bersenyawa dengan semangat, kejujuran, dan kepiawaian dalam bidangnya (profesional).

Pahitnya kegagalan untuk memiliki sesuatu adalah lebih manis daripada meminta-minta kepada orang lain. Pekerjaan tangan yang paling sederhana sekalipun, demi mempertahankan harga diri, jauh lebih utama daripada kekayaan yang disertai penyelewengan.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN KERJA?

Hampir disetiap sudut kehidupan, kita temui begitu banyak orang yang bekerja. Pedagang keliling yang hilir mudik dari satu rumah ke rumah, guru yang tekun berdiri didepan kelas, pekerja proyek yang bercucuran keringat di bawah terik panas matahari, programmer dan pemikir yang berkutat dibelakang layar monitor hingga jauh malam serta segudang profesi lain.

Mereka semuanya memiliki sebuah kesamaan yaitu melakukan suatu kegiatan (aktivitas) dimana di dalam melaksanakan aktivitasnya itu nampak jelas adanya sesuatu yang dikejar.

Aktivitas baru dapat dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan apabila didalamnya mengandung dua aspek nalar yaitu :
1. Aktivitas tersebut dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu sehingga tumbuh rasa tanggungjawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas. Bekerja bukan sekedar mencari uang, tetapi disana ada keinginan untuk mengaktualisasikannya secara optimal, disana ada nilai transendental yang luhur. Bekerja adalah ibadah, sebuah upaya untuk menunjukkan performance hidup dihadapan Illahi; bekerja seoptimal mungkin semata-mata karena merasa ada panggilan untuk memperoleh ridha Allah. Karena itu, sangat mustahil seorang yang mengaku dirinya sebagai wakil Allah dibumi mengabaikan makna keterpanggilannya untuk bekerja sehingga melakukannya dengan tidak sempurna.
2. Aktivitas tersebut dilakukan dengan sengaja dan terencana. Di dalamnya terkandung suatu gairah dan semangat untuk mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki agar apa yang dikerjakan itu benar-benar mampu memberikan kepuasan dan manfaat yang berarti bagi dirinya selaku pribadi dan bermanfaat pula bagi lingkungannya.

Makna bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, melalui pengerahan seluruh aset, pikiran dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.

Secara lebih hakiki, bekerja bagi seorang muslim merupakan ‘ibadah’, bukti pengabdian dan rasa syukur karena mampu mengolah dan memenuhi panggilan Illahi agar dapat menjadi yang terbaik. Sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos terbaik, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan apa-apa yang ada dibumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka siapakah yang terbaik amalnya” (al-Kahfi:7).
Ayat tersebut telah mengetuk hati setiap pribadi muslim untuk mengaktualisasikan etos kerja dalam bentuk mengerjakan segala sesuatu dengan kualitas yang tinggi. Sadar bahwa Allah menguji dirinya untuk menjadi manusia yang memiliki amal atau perbuatan yang terbaik, bahkan menyadarinya pula bahwa persyaratan untuk bertemu dengan Allah hanyalah dengan berbuat amalan-amalan yang prestatif, “...Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan Tuhannya dalam beribadah dengan sesuatu apapun” (al-Kahfi:110).

Tampak dengan sangat jelas bahwa bekerja haruslah memberikan makna “keberadaan dirinya di hadapan Illahi”. Dia bekerja secara optimal dan bebas dari segala bentuk belenggu dan tirani dengan cara tidak mau terikat atau bertuhankan sesuatu apapun. Dalam pengertian ini seorang muslim menjadi seorang yang kreatif. Mereka mau melakukan eksplorasi, sepertinya ada semacam “kegilaan” untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang terbaik. Hal ini dikarenakan bahwa dia menyadari kalau bumi ini dihamparkan bukan sekedar tempat dia menumpang hidup melainkan justru untuk diolah sedemikian rupa untuk menggapai kehidupan yang lebih baik.

Ada suatu riwayat. Sa’ad bin Muadz al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi saw baru kembali dari perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa’ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa terik matahari. “Kenapa tanganmu?” Rasulullah saw bertanya. “Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Rasulullah saw mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka” (HR ath-Thabrani)

Betapa besarnya penghargaan yang diberikan kepada para pekerja keras. Beliau memberikan motivasi yang sangat kuat kepada kita bahwa para pekerja adalah kekasih Allah, bahkan neraka sekalipun telah mengharamkan orang-orang yang bekerja keras. Pantaslah dalam sebuah hadis yang sangat populer, rasulullah bersabda, “Mukmin yang kuat lebih dicintai dari mukmin yang lemah”. Ada peribahasa yang mengatakan bahwa pribadi yang lemah adalah satu-satunya cacat yang tak termaafkan (weakness of character is the only defect which can not be amended!).

Kepribadian muslim adalah kepribadian yang gagah berani dan kuat, bahkan disetiap saat selalu disisipkan doa untuk memohon kekuatan yang mampu menolong dirinya (sulthanan nashiran) (al-Israa’:80).

Dalam dunia yang penuh dengan debu perjuangan
Tetesan keringat bahkan bersimbahkan darah
Tidak ada tempat bagi mereka yang berkeluh kesah
Berjiwa kerdil dan pengecut
Mereka yang berjiwa lemah akan tergilas!

Kekuatan hanya akan berjodoh dengan keberanian, sedangkan kelemahan hanya akan bersanding dengan mereka yang berjiwa kerdil dan pemalas. Dengan kata lain yang dimaksud dengan bekerja adalah upaya untuk mengisi kualitas hidup islami, yaitu lingkungan kehidupan yang dilahirkan dari semangat tauhid, yang dijabarkan dalam bentuk amal prestatif (amal saleh) yang berbalut keberanian, ketangguhan, ketabahan dan kesungguhan!

Mengingat amal saleh itu harus aktual, jelas dan benar-benar tampak, maka di dalam semangat pribadi muslim tersebut harus terkandung motivasi, arah, rasa dan rasio yang seluruhnya itu dimanifestasikan dalam bentuk tindakan (action!).

Dalam bentuk aksioma semuanya itu dapat diringkas dan dirumuskan sebagai berikut :

K H I = T, A S ( M A R A )

KHI = Kualitas Hidup Islami
T = Tauhid
AS = Amal Saleh
M = Motivasi
A = Arah Tujuan (Hope, Goal, Objective)
R = Rasa & Rasio (Pikir & Dzikir, Head & Heart).
A = Action (Hand & Hard Working).


Dari rumusan di atas, tampak bahwa ‘etos kerja’ itu dapat didefinisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan diri sendiri atau me’muncul’kan kemanusiaannya saja tetapi juga sebagai manifestasi dari amal saleh dan karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.

Apabila kita memahami, menghayati dan kemudian mau mengaktualisasikannya di dalam kehidupan sehari-hari kita, maka akan tampak pengaruh serta dampaknya kepada lingkungan sekitar kita, yang kemudian akan semakin mendorong diri kita untuk segera terjun ke samudra dunia aktivitas dengan gelegak kesungguhan yang mahadahsyat.

Demikian telah penulis sampaikan pemikiran dan ulasan menarik, renungan KH Toto Tasmara, semoga dapat memberikan manfaat dan mampu menginspirasi proses bekerja kita agar lebih optimal. Sehingga dari hasil proses pekerjaan kita itu Allah swt selanjutnya akan melihat kita sebagai manusia yang ‘utuh’, yang telah memenuhi fitrah-Nya yang diijinkan-Nya kelak untuk berjumpa dengan-Nya dan mengharamkan api neraka menyentuh tubuh kita!

Aucun commentaire: